Koordinator TTI, Nasruddin Bahar. Foto: dok pribadi.

BANDA ACEH – Kasus operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Medan, Sumatera Utara, menguak sisi kelam dari sistem pengadaan berbasis e-purchasing atau e-katalog konstruksi. Enam orang telah ditetapkan sebagai tersangka, termasuk orang dekat Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution yang diduga menerima suap sebesar Rp 8 miliar.

Koordinator Transparansi Tender Indonesia (TTI), Nasruddin Bahar, mengatakan penangkapan itu bukan kasus tunggal, melainkan bagian dari pola sistemik yang tumbuh subur di balik skema pengadaan elektronik.

“Kalau orang dekat gubernur saja menerima 8 miliar, publik tentu patut bertanya, apakah gubernurnya sendiri bersih,” kata Nasruddin, Ahad, 29 Juni 2025.

Kasus OTT tersebut bermula dari proyek-proyek konstruksi jalan dan jembatan dengan total anggaran fantastis mencapai Rp 246 miliar. Beberapa di antaranya Jembatan Idano (Nias Barat) Rp 47,5 miliar, Jembatan Aek Sipage Rp 22 miliar, kemudian Peningkatan Jalan Hutaimbaru–Sipongot (Padang Lawas Utara) Rp 61,8 miliar, Peningkatan Jalan Sipiongot–Bts Labuhan Batu Rp 96 miliar dan Rekonstruksi Jalan Aek Kota Batu (Labuhan Batu) Rp 18,75 miliar. 

Yang mengkhawatirkan, semua paket ini tidak melalui proses tender konvensional, melainkan mekanisme e-purchasing via e-katalog, sistem yang justru disebut-sebut lebih transparan dan efisien.

Namun di lapangan, menurut Nasruddin, e-katalog justru jadi ladang subur praktik kolusi.

“Dengan e-purchasing, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) bisa langsung klik dalam hitungan menit. Tapi sebelum itu, sudah ada ‘deal-deal’ tertentu. Fee-nya mengalir ke pejabat yang berwenang,” ungkapnya.

Menurut Nasruddin, korupsi dalam e-katalog tak mungkin berlangsung tanpa sepengetahuan pejabat tinggi daerah. Logikanya, proyek ratusan miliar mustahil dikerjakan tanpa koordinasi di level kepala dinas, apalagi gubernur.

“Ini hanya puncak gunung es. Yang tertangkap hanyalah yang sedang apes. Tapi praktiknya masif dan terstruktur,” kata dia. 

Ironinya, e-katalog justru pernah dielu-elukan Presiden RI sebagai solusi transparansi saat meluncurkan versi terbaru e-katalog V6.0. Tapi kenyataannya di lapangan, sistem ini bisa dimanipulasi dengan sangat mudah oleh aktor-aktor korup. 

Nasruddin menegaskan, pengawasan pengadaan terutama lewat e-katalog harus lebih ketat. Aparat Penegak Hukum (APH) dan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) diminta aktif mengawasi transaksi yang terjadi nyaris seketika.

“APIP punya user ID untuk mengakses proses e-katalog. Mereka bisa mendeteksi, jika satu barang atau jasa langsung ‘diklik’ hanya beberapa jam setelah tayang, patut dicurigai sudah ada persekongkolan antara PPK dan penyedia,” jelasnya.

Ia menambahkan, pengadaan bukan soal kecepatan klik, tapi soal integritas. Jika tidak diawasi ketat, sistem secanggih apapun tetap bisa dibajak oleh keserakahan.***

Salinan ini telah tayang di https://www.ajnn.net/.