BANDA ACEH – Transparansi Tender Indonesia (TTI) menyoroti praktik pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Aceh yang dinilai masih sarat intervensi politik. Koordinator TTI, Nasruddin Bahar, mempertanyakan komitmen Gubernur Aceh dan Ketua DPRA yang pada 5 Mei 2025 lalu menandatangani pakta integritas bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait pencegahan korupsi.
Menurut TTI, kesepakatan itu dinilai hanya menjadi dokumen seremonial belaka, karena praktik di lapangan menunjukkan hal yang sebaliknya.
“Faktanya, hampir semua paket proyek di SKPA dikuasai oleh anggota dewan melalui mekanisme pokok-pokok pikiran (pokir). Mulai dari Dinas Pendidikan, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pertanian dan Perkebunan, hingga dinas lainnya, semua sudah ‘dikapling’,” kata Nasruddin, Sabtu, 28 Juni 2025.
Menurutnya, rekanan yang tidak memiliki kedekatan dengan anggota dewan nyaris mustahil memperoleh proyek. “Jika tidak punya link ke pemilik pokir, jangan harap dapat paket. Banyak rekanan hanya bisa gigit jari,” kata dia.
Lebih dari itu, TTI menyesalkan wakil rakyat yang lebih memprioritaskan proyek dengan nilai keuntungan tinggi ketimbang proyek yang memberi manfaat langsung bagi masyarakat. Mereka dinilai hanya mengejar “cuan”, tanpa memperhatikan urgensi dan kebutuhan publik.
Nasruddin mendesak Bappeda Aceh dan Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) untuk segera melakukan reviu terhadap seluruh usulan pokir. Jika tidak sesuai dengan skala prioritas pembangunan, sebaiknya dicoret dan dialihkan dalam bentuk kegiatan yang lebih relevan melalui APBA Perubahan.
TTI juga mendorong KPK untuk turun langsung ke Aceh dan membuka penyelidikan terhadap paket-paket pokir yang diduga telah diperdagangkan secara sistematis. “KPK sudah punya daftar nama pemilik pokir. Ini saatnya misi pencegahan dijalankan secara serius sebelum korupsi kian mengakar,” tegas Nasruddin.
Nasruddin menuding ada oknum aparat penegak hukum (APH) yang ikut menikmati jatah dari proyek dinas. “Kami mengendus ada oknum yang justru ikut ‘makan’ dari kue proyek, ini membuat publik makin marah dan hilang kepercayaan,” tambahnya.
Praktik kompromi dalam pengadaan juga disebut marak lewat sistem e-katalog (epurchasing), yang justru membuka celah negosiasi cepat antara penyedia dan pejabat pembuat komitmen (PPK).
“E-katalog itu sederhana prosesnya, tapi rawan ‘main belakang’. Komitmen bisa langsung terjadi hanya lewat pertemuan singkat,” kata dia.
Menurut informasi yang beredar di kalangan pelaku usaha dan masyarakat, paket-paket pokir bernilai ratusan miliar rupiah diduga “dijual” kepada rekanan dengan komisi antara 25-30 persen. Setiap anggota dewan bahkan disebut menunjuk koordinator khusus untuk mengatur transaksi dan mempertemukan rekanan dengan pejabat di dinas.
“Ketika sudah cocok, koordinator akan memperkenalkan rekanan ke PPK atau KPA. Lalu terjadilah komitmen bersama. Ini praktek yang sistemik dan merusak,” pungkas Nasruddin.
TTI menilai, praktik seperti ini menjadi akar dari kemiskinan struktural di Aceh.
“Ratusan miliar dana rakyat menguap. Maka tak heran Aceh tetap menjadi provinsi termiskin di Sumatera,” demikian Nasruddin.***
Salinan ini telah tayang di https://www.ajnn.net/.