BANDA ACEH – Koordinator Transparansi Tender Indonesia (TTI), Nasruddin Bahar, mengatakan metode penyedia barang dan jasa melalui e-katalog saat ini digunakan sebagai modus melegalkan korupsi. Terutama di bidang konstruksi.
“Banyak kami temui e-katalog disalahgunakan. PPK tinggal klik begitu kesepakatan sudah dilakukan,” kata Nasruddin, Selasa, 6 Agustus 2024. PPK yang dia maksud adalah akronim dari pejabat pembuat komitmen yang bertanggung jawab atas proses itu.
Nasruddin mengatakan dalam tender pekerjaan konstruksi, penyedia terpilih seharusnya perusahaan yang mempunyai produk, seperti misalnya punya AMP untuk pekerjaan hotmix atau memiliki concrete mixing plant/batching plant untuk perusahaan yang menghasilkan produk beton.
Dalam amatan TTI, kata Nasruddin, ada sejumlah celah kecurangan yang umum dilakukan sejak e-katalog digunakan, yakni persekongkolan antara penyedia di katalog elektronik dengan pejabat pengadaan/PPK untuk mengatur harga. Banyak pula pejabat pengadaan mengabaikan fitur negosiasi.
Persekongkolan antara pejabat pengadaan dan penyedia jasa terjadi saat proses transaksi dengan modus biaya klik. Nasruddin juga menemukan banyak PPK yang tidak memeriksa barang yang dikirimkan oleh distributor. Hal ini menyebabkan barang yang diterima tidak sesuai dengan spesifikasi yang ditawarkan.
Dalam proses e-katalog, kata Nasruddin, pejabat pengadaan dan penyedia mengatur ongkos kirim fiktif. Ongkos kirim yang diterima oleh penyedia akan diberikan kepada pejabat pengadaan/PPK saat mengambil barang ke lokasi penyedia.
Kementerian, lembaga, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, mendorong penyedia untuk memasukkan barang ke katalog selektronik agar dapat dibeli oleh masing-masing instansi, namun, kata Nasruddin, pembelian barang tersebut hanya terjadi satu kali. Nasruddin mengatakan kemungkinan barang tersebut tidak pernah dibeli oleh institusi lain.
“Satu lagi yang paling sering kali terjadi dalam amatan kami adalah pejabat pengadaan/PPK memilih barang bukan berdasarkan harga termurah. Pemilihan sering kali ditentukan berdasarkan perusahaan mana yang paling banyak memberikan keuntungan ke pada si pejabat,” kata Nasruddin.
Untuk pengadaan barang, kata Nasruddin, tersedia cash back antara 20-30 persen. Untuk produk obat-obatan 3-5 persen. Sementara untuk pekerjaan konstruksi, kisaran korting mencapai 10-15 persen.
Pengembalian uang atau pemberian fee, kata Nasruddin, sangat tertutup dan sulit dipantau karena penyedia memanfaatkan aturan di e-katalog yang lebih rentan terhadap praktik korupsi. “Seolah-olah tidak terjadi perbuatan melawan hukum. PPK lepas dari pantauan APH. Padahal di balik semua klik, pasti ada deal,” kata Nasruddin.***
Sumber : AJNN | Waktu :16:09 WIB, 06 Agustus 2024
Salinan ini telah tayang di https://www.ajnn.net/.