BANDA ACEH – Koordinator Transparansi Tender Indonesia, Nasruddin Bahar, memperkirakan 50 persen dokumen yang digunakan dalam proses pengadaan barang dan jasa adalah dokumen palsu. Hal ini disampaikan Nasruddin setelah melihat kasus tender pembangunan gedung fakultas kedokteran gigi Universitas Syiah Kuala USK senilai Rp 11,2 miliar.
“Ada perusahaan yang memenangkan tender namun dibatalkan oleh KPA dengan alasan surat pernyataan tenaga ahli K3 diduga palsu,” kata Nasruddin, Kamis, 19 September 2024.
Nasruddin mengatakan jika semua Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) mengecek keaslian dokumen yang ditandatangani pokja pemilihan, maka dapat dipastikan tenaga ahli SKA, SKT, dan ahli K3, 50 persen tidak benar alias palsu. Begitu juga dokumen dukungan terhadap peralatan.
Dokumen-dokumen itu, kata Nasruddin, seringkali direkayasa. Seolah-olah ditandatangani oleh ahli bersangkutan. Bahkan surat dukungan alat, baik sewa maupun sewa beli, dipastikan 80 persen direkasaya.
Dalam perkara pengadaan gedung di USK, kata Nasruddin, KPA sebenarnya tidak berwewenang mengevaluasi setelah berita acara penentapan pemenang tender diserahkan oleh pokja pemilihan. Keterlibatan KPA memeriksa kembali dokumen, kata Nasruddin, melebihi batas kewenangannya.
Nasruddin juga mengatakan KPA tender gedung kedokteran gigi USK tidak perlu mengirim surat klarifikasi terhadap keabsahan dokumen. Kecuali yang bersangkutan, atau muncul laporan masyarakat atau dari peserta tender, yang mengetahui pernyataan tersebut tidak benar.
“Jika tidak ada yang dirugikan, dan hasil tender mempunyai kepastian hukum, KPA seharusnya tidak ikut-ikutan meminta klarifikasi data yang disampaikan oleh penyedia,” kata Nasruddin.
Jika ternyata dokumen yang disampaikan tidak benar, maka penyedia layak diberikan sanksi, baik secara administratif maupun secara pidana. Lebih keras lagi, kata Nasruddin, penyedia yang menyampaikan keterangan yang tidak benar dapat dimasukkan dalam daftar hitam LKPP Nasional. Imbasnya, perusahaan tersebut tidak dapat mengikuti tender selama dua tahun.
Nasruddin juga meminta inspektorat pro aktif menyikapi persoalan tender ini. Mereka, kata Nasruddin, diberikan kewenangan dalam memutuskan perkara tender. Nasruddin juga mendesak agar aparat penegak hukum bisa melaksanakan rekomendasi inspektorat jika dokumen tender tidak sesuai dengan isi Perpres 12/2021 dan Perlem LKPP 12/2021 tentang tata cara pengadaan barang dan jasa pemerintah melalui peneyedia.
Nasruddin mencontohkan kasus pengadaan bunker di Rumah Sakit Zainoel Abidin. Hingga saat ini tidak ada tidakan hukum meski LKPP menyebut pekerjaan konsultan pengawas belum diatur dalam sistem epurchasing atau ekatalog. Demikian juga bunker yang barangnya belum tersedia pada etalase e-katalok.
“Kelemahan dari sanksi pada pengadaan barang dan jasa adalah tidak ada sanksi pidana sehingga tidak ada efek jera. Paling-paling hanya sanksi administrasi,” kata Nasruddin.
TTI berharap semua pemangku kepentingan pengadaan barang dan jasa bersikap terbuka dan transparan. Jika ada surat pernyataan tentang kesediaan ditugaskan di lokasi proyek, harusnya hal itu ditandatangani oleh yang bersangkutan, bukan direkayasa.***
Sumber: https://www.ajnn.net/news/50-persen-pemenang-tender-di-aceh-ditengarai-gunakan-dokumen-palsu/index.html