Koordinator Transparansi Tender Indonesia (TTI), Nasruddin Bahar mendukung kebijakan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang melarang pemberian hibah dari Pemerintah Aceh kepada instansi vertikal dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2025. Larangan tersebut dinilai selaras dengan regulasi yang berlaku, khususnya Pasal 54 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2019 serta Pasal 93 dan 97 yang mengatur mekanisme pengelolaan keuangan daerah.
“Kami meminta Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) yang menampung kegiatan tersebut untuk mematuhi perintah Kemendagri agar tidak terjadi perbuatan melawan hukum,” ujar Nasruddin Bahar dalam keterangan persnya, Rabu, 5 Februari 2025.
Nasruddin mengungkapkan, sejumlah proyek yang dianggarkan dalam APBA 2025 untuk instansi vertikal di Aceh mencakup berbagai pembangunan dan pengembangan fasilitas.
Nasruddin menyebutkan, dana hibah tersebut tersebar di sejumlah SKPA dan dialokasikan untuk berbagai proyek, antara lain untuk pengembangan aplikasi khusus Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh, termasuk Videotron indoor P.25, dengan anggaran Rp1 miliar, yang ditempatkan pada Dinas Komunikasi, Informatika, dan Persandian(Diskominsa) Aceh.
Kemudian pembangunan gedung untuk Kepolisian Daerah (Polda) Aceh sebesar Rp4,2 miliar dan pembangunan gedung untuk Badan Intelijen Negara (BIN) senilai Rp825 juta.
Lalu, kata Nasruddin, ada juga pembangunan gedung sederhana untuk Kajati Aceh dengan total anggaran Rp2,35 miliar yang tersebar dalam beberapa proyek, dengan nilai Rp1,35 miliar, Rp900 juta, Rp60 juta, dan Rp40 juta.
“Selain itu ada juga pembangunan gedung sederhana lainnya untuk Polda Aceh dengan anggaran Rp6,685 miliar,” ujar Nasruddin.
Sebelumnya diberitakan, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh meminta Pemerintah Aceh untuk segera menghentikan alokasi dana hibah kepada instansi vertikal. Sebab alokasi tersebut tidak relevan mengingat pembangunan di Aceh masih bergantung pada dana pemerintah pusat.
“Semua pembangunan jalan dan lainnya, kita masih pakai dana pusat, kenapa harus kita hibahkan lagi, Sementara satu sisi Pemerintah Aceh getol meminta penambahan anggaran ke Pusat. Tapi disisi lain malah menghibahkan ke Pemerintah Pusat yang di daerah,” kata Kepala Program LBH Banda Aceh, Hafidh dalam konferensi pers di kantor Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Banda Aceh, Selasa, 21 Januari 2025.
Menurut Hafidh, selama tahun 2017 sampai 2024, Pemerintah Aceh mengalokasikan Belanja Hibah sebesar Rp6,4 triliun. Dengan rata-rata alokasi pertahun sebesar Rp805,9 milar, dari angka hibah tersebut, sebesar Rp308.3 miliar dikucurkan untuk enam instansi vertikal yang ada di Aceh.
Hafidh menyebutkan, sejak tahun 2017 sampai dengan 2024, total rata-rata Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) sebesar Rp14,9 triliun dengan rata-rata Pendapatan Asli Aceh (PAA) dalam rentang waktu tersebut sebesar Rp2,4 triliun.
“Sebenarnya, PAA itu hanya cukup untuk membayar gaji pegawai saja. Namun untuk seluruh pembangunan dan kegiatan lainnya, Aceh masih menggunakan dana dari Pemerintah Pusat,” ujarnya.
Alokasi dana hibah tersebut menurut Hafidh, sangat membebani keuangan pemerintah Aceh. Dana hibah yang seharusnya diperuntukkan untuk menunjang dan mendukung program prioritas pemerintah Aceh malah digunakan untuk membangun fasilitas olahraga yang tidak ada kaitannya dengan program pemerintah.
“Apakah lapangan tenis, lapangan tembak, hal yang mendesak untuk program Aceh, kemudian kantornya dipasangkan lift dari dana hibah, sementara biaya pemulangan jenazah dihapuskan, sedangkan pemerintah Aceh alokasikan dana pembangunan lift untuk instansi vertikal,” kata Hafidh.
Saat ini, kata Hafidh, Aceh masih merupakan provinsi termiskin di Sumatera. Masih sangat banyak urusan wajib pemerintah Aceh yang belum dicapai. Sehingga mengalokasikan belanja hibah yang nominalnya sangat besar
“Apalagi hibah untuk pemerintah pusat sangat tidak patut dilakukan oleh Pemerintah Aceh,” ujarnya.
Hafidh menjelaskan bahwa dalam Pasal 298 ayat (4) UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, dengan tegas menyebutkan “Belanja hibah dan bantuan sosial dianggarkan dalam APBD sesuai dengan kemampuan keuangan Daerah setelah memprioritaskan pemenuhan belanja Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang – undangan,”.
Hafidh mengingatkan bahwa pengalokasian dana hibah ke Instansi vertikal berpotensi menyalahi aturan. Banyak prasyaratnya yang harus dipenuhi sehingga pengalokasian tersebut dianggap patut, sesuai urgensi dan kepentingan Pemerintah Aceh dalam mendukung terselenggaranya fungsi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dengan memperhatikan asas keadilan, kepatuhan, rasionalitas dan manfaat untuk masyarakat.
Lebih lanjut Hafidh mengatakan bahwa dalam Pasal 4 Pergub Aceh Nomor 115 tahun 2018 tentang perubahan kedua atas Peraturan Gubernur Aceh nomor 82 Tahun 2016 tentang pedoman belanja hibah dan bantuan sosial yang bersumber dari APBA juga sudah dijelaskan ketentuan alokasi hibah. Dalam aturan tersebut dijelaskan Pemerintah Aceh dapat memberikan Hibah sesuai kemampuan keuangan Aceh.
“Kemudian Pemberian hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memprioritaskan pemenuhan belanja urusan wajib, urusan wajib lainnya dan urusan pilihan,” sebutnya.
Oleh sebab itu, Hafidh mendesak Pemerintahan Aceh baik eksekutif dan legislatif untuk mengehentikan pengalokasian dana Hibah untuk instansi vertikal di Aceh. Ia juga mendesak agar pemerintah berfokus pada upaya percepatan pengentasan kemiskinan dengan mengalokasikan sumber – sumber pendanaan yang ada untuk kesejahteraan rakyat Aceh, termasuk pemenuhan hak-hak korban konflik yang telah direkomendasikan oleh KKR Aceh untuk mendapatkan reparasi.
Sumber : RMOL ACEH Republik Merdeka | Waktu : Rabu, 5 Februari 2025,10:03 | Salinan ini telah tayang di https://www.rmolaceh.id/tti-dukung-larangan-dana-hibah-untuk-instansi-vertikal